|
Gunung Pasir Suung, Cikotok, Kec. Cibeber, Kab. Lebak |
Minggu, Maret 2010
Tak begitu
jelas kutangkap kelebatmu yang melintas begitu saja di hatiku. Hanya sepi yang
begitu pekat melayang-layang di punggungmu. Menebarkan aroma dingin yang
menjalar ke mataku, menggigilkan sekujurku. Tak tahukah engaku, kalau embusan
lembut angin pagi yang memaksa berdiri bulu-bulu di tengkukmu, adalah sebagian
napas yang kulepaskan sebelum kamu lelap?!
Ia cuma
bergeming sambil tak lepas matanya menatap lekat - lekat perempuan yang
berjalan menjauh itu. Namun, dari riak air mukanya, nampak terpendar kemilau
matahari pagi, dan seolah ia sedang merayakan sesuatu, atau barangkali ia
tengah bergembira. Ya, barangkali ia sudah senang bukan kepalang meski cuma
melihat punggung perempuan itu.
Tak banyak yang bisa ia lakukan, selain terus
manatap punggungnya, memperhatikan langkahnya, lalu sedikit menyenyum, dan
mulai berkhayal yang bukan-bukan. Menghayalkan perempuan itu menjadi kekasih
yang mengerti keadaannya, mau menerimanya apa adanya, mendampinginya ke mana
pun, dan seterusnya, dan seterusnya. Akan tetapi, itu hanya sebatas lamunan,
karena toh ia sendiri tak pernah bernyali untuk sekadar menyapanya, menanyakan
kabarnya. Ia penakut, atau lebih tepatnya pengecut........!!!
Dan setelah
perempuan itu lenyap, tak lagi bisa ditangkap matanya yang rabun, ia mulai
menulis. Barangkali sebuah puisi. Atau mungkin juga sebuah catatan untuk
sekadar mengawetkan pertemuannya dengan punggung perempuan itu.
Sementara, matahari di atas kepalanya semakin terik
menyengat. Tetapi ia nampak tak peduli, meski keringatnya menyembul dari
kening, dada, punggung, ketiak. Dan bau tubuhnya yang jarang tersentuh air dan
sabun itu meruapkan bau tak sedap.
* * *
Senin, Maret 2010
Hanya ruang
hampa yang menari-tari di pundakmu. Tak ada punggung yang menyimpan sketsa
rindu sebab kamu diapit dua Lelaki lain di depan dan di belakangmu. Tidakkah
kamu mau menoleh ke arahku sebentar saja?
Lagi, ia cuma
bergeming sambil tak lepas matanya menatap lekat - lekat salah satu Lelaki di
atas sepeda motor itu. Namun, dari sorot matanya, nampak terpendar kemilau
matahari senja, dan seolah ia kembali merayakan sesuatu, atau barangkali ia
tengah bergembira. Ya, barangkali ia sudah senang bukan alang kepalang meski
cuma melihat pundak perempuan itu.
Dan selalu,
ia tak melakukan apa pun, selain terus manatap pundaknya, memperhatikannya
menjauh, lalu sedikit tersenyum, dan mulai berkhayal yang tidak - tidak.
Menghayalkan perempuan itu menjadi kekasihnya, menjadi istrinya, menjadi ibu
dari anak-anaknya, dan seterusnya, dan seterusnya. Akan tetapi, lagi - lagi itu
hanya sebatas lamunan, karena sampai hari ini ia masih belum bernyali untuk
sekadar menyapanya, menanyakan kabarnya. Ia tatap pengecut!
Dan setelah
perempuan itu lenyap, tak lagi bisa ditangkap matanya, ia kembali menuliskannya.
Barangkali sebuah prosa. Atau mungkin juga sebuah catatan untuk sekadar
mengawetkan pertemuannya dengan pundak perempuan itu.
Sementara bau tubuhnya telah
benar-benar mengalahkan sengatan matahari.
* * *
Selasa, Maret 2010
Tak ada yang
bisa kutulis mengenai pertemuanku denganmu. Ke manakah kamu hari ini? Mengapa
kamu tak melintas atau berkelebat lagi seperti kelelawar yang tengah memburu
buah yang ranum?
Non, adakah
kamu menyimpan kerinduan di balik kulit randu? Ah, mungkin saja tidak, sebab
kamu terlampau sibuk, terlampau tak peduli, sehingga mungkin tak ada lagi ruang
dalam dirimu untuk bersemayam seekor melata bernama rindu.
Adalah ia yang kini termenung
sendiri di bawah pohon ranggas. Dan masih saja bersikeras membuat catatan kecil
meski ia tak bertemu perempuan itu. Dan entah mengapa, selalu saja ada yang
dicatatnya. Barangkali sebuah harapan. Atau mungkin juga sebentuk kegelisahan
yang coba dicairkan.
Sementara angin yang berkesiur melambaikan
rambutnya, menjatuhkan sehelai daun yang sudah kuning kecoklatan di
depannya. Dan ia masih saja termenung. Tapi kemudian, dipulungnya juga daun itu
setelah ia mengiranya sebagai cenderamata yang dititipkan kekasihnya.
* * *
Rabu, Maret 2010
Non, jangan membuatku gila karena tak lagi
melihatmu! Aku kangen. Tak adakah waktu luangmu—sedetik saja—untukku, untuk
kita, agar aku dapat menguak segalanya?
Ia lunglai. Terhuyung - huyung, seperti seorang pemabuk sehabis menenggak bergalon-galon alkohol.
Dan kakinya itu, nampak berat atau dibebani sesuatu, hingga ia terpaksa
menyeret - seretnya.
Pun, kulit wajahnya nampak murung, kerut - kemerut. Tak ada lagi pendar matahari pagi di sana, yang menyisa cuma
gumpalan awan di musim penghujan yang telah lama menyimpan uap, tapi sebelum
sempat menjatuhkan bebulir airnya satu - satu.
Barangkali, di dalam kepalanya
itu, sedang terjadi sebuah pertaruangan antara dua pendekar pilih tanding.
Peperangan yang memakan waktu cukup lama, dan hampir tak ada jeda. Mesti ada
yang mati baru berhenti. Dan yang tersisa cuma jejaring otaknya yang terputus,
remuk, carut-marut.
* * *
Kamis, Maret 2010
Aku melihatmu! Bahkan, bukan cuma punggung atau pundak yang
senyap itu, tetapi sejuring pipi kirimu, akhirnya dapat juga dirasakan mataku. Terima kasih, meski mungkin kamu tak hendak membenturkan matamu pada
mataku. Sebab mata adalah mula segala membaca. Takutkah kamu?
Ia sumringah, raut wajahnya
terlihat cerah dan bersemangat. Dari bola matanya, terlihat
kunang - kunang berlompatan. Seperti reriak air kali tertimpa cahaya ketika purnama
raya.
Namun, ia tak juga beranjak dari
posisinya untuk sekadar menyapanya. Ia kukuh pada duduknya semula, seakan
itulah zona nyaman yang dimaunya selama ini. Dan ia tak peduli pula pada
suara-suara yang riuh rendah di ruang pertunjukan itu.
* * *
Jum’at, Maret 2010
Semuanya kandas. Tak ada lagi yang harus kutulis. Ludes! Sebab mata kita telah bersirobok.
Dan aku dapat melihatnya di lorong matamu. Sebuah nuansa yang tak damai, seolah
lorong yang hendak kumasuki itu menggaritkan keterasingan dan kengerian. Ada
sesuatu yang ganjil di sana. Barangkali mambang. Barangkali
sesuatu yang runcing, bersudut rumit. Tak mudah diperkirakan apalagi diurai.
Ia terperangah. Bengong melompong
melihat perempuan yang selama ini dikuntitnya, beradu ketajaman mata dengannya.
Tetapi, dari riak air mukanya ia nampak tak bergembira. Barangkali, ia memang
lebih menikmati kekagumannya pada perempuan itu, menumpuk keresahan dan
keinginan-keinginan yang tak pernah bisa ia mengerti. Dan barangkali, ia lebih
menyukai berburu ketimbang menikmati hasil buruan. Atau ia telah mendapati
sesuatu yang mengerikan sekaligus menakjubkan di balik mata perempuan itu?
* * *
Sabtu, Maret 2010
Telah
kuputuskan, bahwa kita tak usah lagi saling memandang apalagi merindukan. Sebab
kamu terlampau canggih untuk makhluk bodoh sepertiku. Sebab mawar tak boleh
tumbuh di atas kotoran kerbau. Maka, bolehkan aku melanjutkan perjalanan demi
sebuah capaian mahatinggi.
Ia terbaring lemah di kamarnya yang
senyap dan poranda. Hanya gerak bola mata, dengus napas, dan kedipannya saja yang menjadi pertanda
bahwa malaikat maut masih enggan mendekapnya. Selebihnya, tak ada lagi rindu
atau sekadar rasa penasaran. Ia menginginkan yang lebih tinggi dari sekadar
kekasih…. Tapi, barangkali ia tak tahu apa yang lebih maha dari kekasih.
Entahlah!
* * *
Minggu, Maret 2010
Akkhhh…! Non,
ijinkan aku buta dan bahagia.
Dilihatnya perempuan itu
bergandeng mesra dengan seorang atau sesuatu yang asing yang tak dikenal dan
tak dikehendakinya. Dan ia pun ambruk. Barangkali ada yang retak pada dirinya,
atau malah ringsek sama sekali. Kedua telapak tangannya hanya menelungkup pada
wajahnya yang sepucat mayat. Seperti tak ingin melihatnya sama sekali. Seperti
benar-benar menghendaki kebutaan pada matanya.
Sejurus, tangannya agak tremor
dan tubuhnya nampak berguncang hebat. Sementara dari sela - sela jemari tangannya yang masih menutupi muka, mengalir cairan sewarna
darah. Menetes-tetes.