Kamis, 02 Mei 2013

Potret Dunia Pendidikan Indonesia

Foto Siswa Kelas 3 B SDN Ciparay ( Cinangka, Serang, Banten )

Hampir satu minggu ini, saya bergelut dengan sebuah pekrjaan yang sampai saat ini belum juga terselesaikan. Pekerjaan ini cukup berat dan penuh tanggung jawab, namun apa lah daya tubuh pun mulai terasa lelah. Dalam istirahat yang sejenak ini, saya ingin menulis sebuah artikel. Semoga saja mengalir apa yang terseirat di kepala agar menjadi sebuah tulisan.
Teringat pada diskusi bersama teman-teman diwaktu-waktu yang lalu, tentang liberalisasi dunia pendidikan Indonesia dibawah situasi Negara, yang sampai saat ini belum juga lepas dari cerita tentang ketertindasan sebuah bangsa. Semoga saya berhasil mendokumentasikan secara singkat tentang kondisi yang saya maksud tadi.
Tentu saya tidak akan memulai penjabaran ini dari sejarah. Memang setiap kita mesti hapal tentang sejarah bangsa ini mengenal dunia pendidikan. Tapi yang saya ingin kupas pada tulisan ini lebih pada dinamika serta perkembangan dunia pendidikan Indonesia dalam proses menuju orientasi atau output yang sesungguhnya.
Dibeberapa literatur, saya menemukan bahwa; “pendidikan merupakan sebuah media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan rakyat, sekaligus sebagai suatu instrument yang akan melahirkan tenaga-tenaga yang akan menjadi penopang laju perkembangan kehidupan bangsa. Pendidikan harus juga menjadi factor pendorong bagi kemajuan peradaban menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan demokratis”.
Dari ungkapan tersebut, dunia pendidikan ternyata tidak bisa lepas dari kendali sebuah Negara yang di pimpin oleh kelas yang sedang berkuasa. Karenanya, pendidikan merupakan bagian dari tanggung jawab Negara, tentu akan di atur sedemikian rupa, baik dari segi pembiayaan sampai pada konsep pendidikan itu sendiri.
Potret Pendidikan di Indonesia
Problem Dunia Pendidikan Saat Ini
Banyak kalangan menilai bahwa, Negara indoensia saat ini masih terikat oleh belenggu imperialisme atau praktek penjajahan gaya baru. Tentu berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh penguasa (Negara), tidak terlepas dari andil dan intervensi dari imperialisme tersebut.
Imperialisme hadir dalam dalam sosok Negara-negara maju seperti AS, Inggris, Kanada, Jepang, Koorsel, Spanyol, Prancis, Italia dan sekutunya. Selain itu, juga hadir dalam bentuk lemabaga-lembaga donor internasional seperti Word Bank, IMF dan WTO.
Artinya,secara otomatis orientasi dari dunia pendidikan Indonesia akan di arahkan pada kepentingan Negara-negara imperialisme tadi. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pun tidak lah terkonsentrasi pada konteks dari pelaksanaan pendidikan itu sendiri, melainkan hanya merupakan bingkisan kebijakan yang di balut oleh kepentingan dari Negara imperialisme.
Pada Tahun 2001 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kesepakan tentang perdagangan jasa (General Adjustment On Trade and Service/GATS). Di mana dunia pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor dapat menanamkan investasinya disektor pendidikan (terutama pendidikan tinggi).
Lahirnya kebijakan di sector pendidikan, tidak terlepas dari kepentingan Negara imperialism dalam proses liberalisasi sector pendidikan di Indonesia. Dalam kesepakatan untuk kucuran hutan (Letter of Intent/LOI) dari IMF, pada tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk sector pendidikan dan kesehatan.
Selanjutnya, juga melalui Bank Dunia, Pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran hutang sebesar $ 114,54 untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Educaion for Relevance and Effeciency. Kesepakatan ini di tanda tangani pada bulan Juni 2005. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efesiensi dan relevansi dengankebutuhan pasar. Word Bank menilai, bahwa pendidikan terlalu menyedot banyak anggaran, maka subsidi di sector pendidikan harus di pangkas.
Skema leberalisasi ini telah di uji cobakan di beberapa Universitas Negeri terkemuka di Indonesia, PT BHMN (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara). Praktek ini kemudian di lindungai oleh PP No 60 tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi dan PP No 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum.
Namun, pemberlakuan PT BHMN ini tidak mebawa dampak yang signifikan terhadap perubahan kualitas pendidikan Indonesia. Pada kenyataannya, Universitas yang diharapkan menjadi cetak biru pendidikan Indonesia ini hanya menyisakan mahalnya biaya pendidikan serta marak nya praktek-praktek privatisasi/kmersialisasi di dunia pendidikan.
Kebijakan liberalisasi sector pendidikan Indonesia
Beberap kebijakan yang lahir untuk sector pendidikan, telah menuai protes dari banyak pihak, terutama dari kalangan pemuda-mahasiswa. Karena rentetan kebijakan tersebut mengandung semangat liberalisasi atau melemahnya tanggung jawab Negara terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Berawal dari mandate UU No 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, dalam pasal 53, telah mengamanatkan untuk dilahirkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang di disahkan pada bulan desember 2008 lalu. Undang-undang ini merupakan sebagai bentuk paling vulgar dari lepasnya tanggung jawab Negara terhadap dunia pendidikan. Pendidikan kemudian akan menjadi tanggung jawab bersama antara pemrintah dan masarakat.
Terjadi beberapa kali perubahan draft dalam rancangan UU BHP ini, namun tidak juga menghilangkan hakekat dari pengesahan UU tersebut. penyelenggaraan pendidikan kemudian hanya dinilai sebagai aktivitas perdagangan dan miniature sebuah perusahaan yang lengkap dengan hubungan inustrialnya.
Karena sekali lagi, dengan dinamakannya Badan Hukum, maka orientasinya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan dari aktivitas pendidikan tersebut. Hal ini syarat akan unsure diskriminasi terhadap warga Negara, di mana semakin lemahnya akses atas pendidikan bagi keluarga yang kurang mampu. Tentu sangat bertentangan dengan amanat konstitusi yang tertuang dalam pasal 31 UUD 45.
Aksi-aksi protes pun kian memanas di seluruh penjuru negeri. Pihak yang kontra terhadap UU ini mayoritas berasal dari kalangan pemuda-mahasiswa. Sedari awal dirancangnya UU BHP, gelombang perlawanan pemuda-mahasiswa pun tak kunjung redam. Meski pada akhirnya UU BHP tetap disahkan.
Pada pertengahan Maret 2010, tersirat kabar tentang pencabutan UU BHP. Namun berita tentang penacabutan ini tidak membuat pihak yang kontra BHP menjadi lega. Karena semangat komersialisasi dan privatisasi sudah terlanjur ditanamkan. Maka lahirlah produk hukum terbaru yang bernama Rancangan Undan-undang Perguruan Tinggi, sejak awal 2011 lalu.
RUU ini pada akhirny disahkan pada pertengahan Juli 2012 lalu menjadi Undang-undang Pendidikan Tinggi. Secara prinsip, dishkannya UU ini juga mengandung semangat lepasnya tanggung jawab Negara terhadap dunia pendidikan.
Perguruan Tinggi terus didorong untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Sementara pemerintah hanya mengalokasi 2,5% anggaran untuk sector pendidikan. Bagi PTN dan PTS, alokasi anggaran tesebut meliputi pembiayaan investasi, pegawai, operasional dan pengembangan institusi (dalam Pasal 89).
Faktanya, dari APBN-P 2012, anggaran pendidikan sebesar RP.285 triliun, namun hanya dialokasikan untuk pendidikan tinggi sebesar Rp. 5 Truliun. Jika dibagikan ke seluruh perguruan tinggi yang mencapai jumlah 3.150, tentu angka Rp.5 Triliun tadi merupakan jumlah yang sangat terbatas. Selanjutnya, dalam UU tersebut juga telah diatur bahwa, setiap PTN dan PTS memiliki kewenangan untuk menetapkan jenis biaya pendidikan dilaur penyelenggaraan pendidikan (SPP).
Selain itu, UU ini juga merupakan manifest dari skema Imperalisme atas perdagangan tenaga kerja, melalui program fleksibelitas pasar tenaga kerja (labour market flexibellity/LMF). Skema tersebut menempatkan dosen dan tenaga kerja pendidikan dalam system kerja kontrak dan outsourching. Selin itu, mahasiswa menjadi sasaran perdagangan tenaga kerja bagi pihak kampus atau pemerintah secara langsung.
Banyak sekali dampak yang akan muncul dari kebijakan ini. Terutama adalah, semakin sempitnya akses rakyat atas pendidikan. Berdasarkan data BPS Maret 2011, Pemuda Indonesia yang berusia 19-24 tahun berjumlah25,404 juta jiwa. Sedangkan jumlah penduduk miskin per Maret 2011 sejumlah 30,5 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita sebesar Rp.233.740 perbulan. Artinya kenyataan demikian, bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi akademik, dipastikan tidak akan dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Imbas dari kebijakan di sector pendidikan yang kian buruk ini, akan semakin pahit dirasakan oleh rakyat Indonesia, terlebih masyarakat yang tergolong lemah secara ekonomi.
Sampai saat ini, perlawanan terhadap Undang-undang ini terus dipopulerkan oleh kalangan massa rakyat yang kontra terhadap UU PT ini. Semoga kajian serta analisis terhadap masalah ini terus berlanjut, demi terwujudnya system pendidikan berorientasi pada tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Selamat Hardiknas Semoga Pendidikan di Negeri JAWARA Bisa Lebih Baik Lagi dari Sebelumnya........!!!!!!!

 

0 komentar:

Posting Komentar