Foto Siswa Kelas 3 B SDN Ciparay ( Cinangka, Serang, Banten ) |
Hampir satu
minggu ini, saya bergelut dengan sebuah pekrjaan yang sampai saat ini belum
juga terselesaikan. Pekerjaan ini cukup berat dan penuh tanggung jawab, namun
apa lah daya tubuh pun mulai terasa lelah. Dalam istirahat yang sejenak ini,
saya ingin menulis sebuah artikel. Semoga saja mengalir apa yang terseirat di
kepala agar menjadi sebuah tulisan.
Teringat
pada diskusi bersama teman-teman diwaktu-waktu yang lalu, tentang liberalisasi
dunia pendidikan Indonesia dibawah situasi Negara, yang sampai saat ini belum
juga lepas dari cerita tentang ketertindasan sebuah bangsa. Semoga saya
berhasil mendokumentasikan secara singkat tentang kondisi yang saya maksud
tadi.
Tentu saya
tidak akan memulai penjabaran ini dari sejarah. Memang setiap kita mesti hapal
tentang sejarah bangsa ini mengenal dunia pendidikan. Tapi yang saya ingin
kupas pada tulisan ini lebih pada dinamika serta perkembangan dunia pendidikan
Indonesia dalam proses menuju orientasi atau output yang sesungguhnya.
Dibeberapa
literatur, saya menemukan bahwa; “pendidikan merupakan sebuah media untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan rakyat, sekaligus sebagai suatu instrument
yang akan melahirkan tenaga-tenaga yang akan menjadi penopang laju perkembangan
kehidupan bangsa. Pendidikan harus juga menjadi factor pendorong bagi kemajuan
peradaban menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan demokratis”.
Dari
ungkapan tersebut, dunia pendidikan ternyata tidak bisa lepas dari kendali
sebuah Negara yang di pimpin oleh kelas yang sedang berkuasa. Karenanya,
pendidikan merupakan bagian dari tanggung jawab Negara, tentu akan di atur
sedemikian rupa, baik dari segi pembiayaan sampai pada konsep pendidikan itu
sendiri.
Potret Pendidikan di Indonesia |
Problem Dunia Pendidikan Saat Ini
Banyak
kalangan menilai bahwa, Negara indoensia saat ini masih terikat oleh belenggu imperialisme atau praktek penjajahan
gaya baru. Tentu berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh penguasa (Negara),
tidak terlepas dari andil dan intervensi dari imperialisme tersebut.
Imperialisme
hadir dalam dalam sosok Negara-negara maju seperti AS, Inggris, Kanada, Jepang,
Koorsel, Spanyol, Prancis, Italia dan sekutunya. Selain itu, juga hadir dalam
bentuk lemabaga-lembaga donor internasional seperti Word Bank, IMF dan WTO.
Artinya,secara
otomatis orientasi dari dunia pendidikan Indonesia akan di arahkan pada
kepentingan Negara-negara imperialisme tadi. Kebijakan-kebijakan yang
dilahirkan pun tidak lah terkonsentrasi pada konteks dari pelaksanaan
pendidikan itu sendiri, melainkan hanya merupakan bingkisan kebijakan yang di
balut oleh kepentingan dari Negara imperialisme.
Pada Tahun
2001 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kesepakan tentang perdagangan jasa
(General Adjustment On Trade and
Service/GATS). Di mana dunia pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari
16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor dapat menanamkan
investasinya disektor pendidikan (terutama pendidikan tinggi).
Lahirnya
kebijakan di sector pendidikan, tidak terlepas dari kepentingan Negara
imperialism dalam proses liberalisasi sector pendidikan di Indonesia. Dalam
kesepakatan untuk kucuran hutan (Letter of Intent/LOI) dari IMF, pada tahun
1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk sector
pendidikan dan kesehatan.
Selanjutnya,
juga melalui Bank Dunia, Pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran hutang
sebesar $ 114,54 untuk membiayai program Indonesian
Managing Higher Educaion for Relevance and Effeciency. Kesepakatan ini di
tanda tangani pada bulan Juni 2005. Program ini bertujuan untuk mewujudkan
otonomi perguruan tinggi, efesiensi dan relevansi dengankebutuhan pasar. Word
Bank menilai, bahwa pendidikan terlalu menyedot banyak anggaran, maka subsidi
di sector pendidikan harus di pangkas.
Skema
leberalisasi ini telah di uji cobakan di beberapa Universitas Negeri terkemuka
di Indonesia, PT BHMN (Perguruan Tinggi
Negeri Badan Hukum Milik Negara). Praktek ini kemudian di lindungai oleh PP
No 60 tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi dan PP No 61 Tahun 1999 tentang
Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum.
Namun,
pemberlakuan PT BHMN ini tidak mebawa dampak yang signifikan terhadap perubahan
kualitas pendidikan Indonesia. Pada kenyataannya, Universitas yang diharapkan
menjadi cetak biru pendidikan Indonesia ini hanya menyisakan mahalnya biaya
pendidikan serta marak nya praktek-praktek privatisasi/kmersialisasi di dunia
pendidikan.
Kebijakan liberalisasi sector pendidikan
Indonesia
Beberap
kebijakan yang lahir untuk sector pendidikan, telah menuai protes dari banyak
pihak, terutama dari kalangan pemuda-mahasiswa. Karena rentetan kebijakan
tersebut mengandung semangat liberalisasi atau melemahnya tanggung jawab Negara
terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Berawal dari
mandate UU No 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, dalam pasal 53,
telah mengamanatkan untuk dilahirkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan
yang di disahkan pada bulan desember 2008 lalu. Undang-undang ini merupakan
sebagai bentuk paling vulgar dari lepasnya tanggung jawab Negara terhadap dunia
pendidikan. Pendidikan kemudian akan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemrintah dan masarakat.
Terjadi
beberapa kali perubahan draft dalam rancangan UU BHP ini, namun tidak juga
menghilangkan hakekat dari pengesahan UU tersebut. penyelenggaraan pendidikan
kemudian hanya dinilai sebagai aktivitas perdagangan dan miniature sebuah
perusahaan yang lengkap dengan hubungan inustrialnya.
Karena sekali
lagi, dengan dinamakannya Badan Hukum, maka orientasinya adalah bagaimana
mendapatkan keuntungan dari aktivitas pendidikan tersebut. Hal ini syarat akan
unsure diskriminasi terhadap warga Negara, di mana semakin lemahnya akses atas
pendidikan bagi keluarga yang kurang mampu. Tentu sangat bertentangan dengan
amanat konstitusi yang tertuang dalam pasal 31 UUD 45.
Aksi-aksi
protes pun kian memanas di seluruh penjuru negeri. Pihak yang kontra terhadap
UU ini mayoritas berasal dari kalangan pemuda-mahasiswa. Sedari awal
dirancangnya UU BHP, gelombang perlawanan pemuda-mahasiswa pun tak kunjung
redam. Meski pada akhirnya UU BHP tetap disahkan.
Pada
pertengahan Maret 2010, tersirat kabar tentang pencabutan UU BHP. Namun berita
tentang penacabutan ini tidak membuat pihak yang kontra BHP menjadi lega.
Karena semangat komersialisasi dan privatisasi sudah terlanjur ditanamkan. Maka
lahirlah produk hukum terbaru yang bernama Rancangan Undan-undang Perguruan
Tinggi, sejak awal 2011 lalu.
RUU ini pada
akhirny disahkan pada pertengahan Juli 2012 lalu menjadi Undang-undang
Pendidikan Tinggi. Secara prinsip, dishkannya UU ini juga mengandung semangat
lepasnya tanggung jawab Negara terhadap dunia pendidikan.
Perguruan
Tinggi terus didorong untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri.
Sementara pemerintah hanya mengalokasi 2,5% anggaran untuk sector pendidikan.
Bagi PTN dan PTS, alokasi anggaran tesebut meliputi pembiayaan investasi,
pegawai, operasional dan pengembangan institusi (dalam Pasal 89).
Faktanya,
dari APBN-P 2012, anggaran pendidikan sebesar RP.285 triliun, namun hanya
dialokasikan untuk pendidikan tinggi sebesar Rp. 5 Truliun. Jika dibagikan ke
seluruh perguruan tinggi yang mencapai jumlah 3.150, tentu angka Rp.5 Triliun
tadi merupakan jumlah yang sangat terbatas. Selanjutnya, dalam UU tersebut juga
telah diatur bahwa, setiap PTN dan PTS memiliki kewenangan untuk menetapkan
jenis biaya pendidikan dilaur penyelenggaraan pendidikan (SPP).
Selain itu,
UU ini juga merupakan manifest dari skema Imperalisme atas perdagangan tenaga
kerja, melalui program fleksibelitas pasar tenaga kerja (labour market flexibellity/LMF). Skema tersebut menempatkan dosen
dan tenaga kerja pendidikan dalam system kerja kontrak dan outsourching. Selin
itu, mahasiswa menjadi sasaran perdagangan tenaga kerja bagi pihak kampus atau
pemerintah secara langsung.
Banyak
sekali dampak yang akan muncul dari kebijakan ini. Terutama adalah, semakin
sempitnya akses rakyat atas pendidikan. Berdasarkan data BPS Maret 2011, Pemuda
Indonesia yang berusia 19-24 tahun berjumlah25,404 juta jiwa. Sedangkan jumlah
penduduk miskin per Maret 2011 sejumlah 30,5 juta jiwa, dengan pendapatan
perkapita sebesar Rp.233.740 perbulan. Artinya kenyataan demikian, bagi calon
peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki
prestasi akademik, dipastikan tidak akan dapat melanjutkan ke jenjang perguruan
tinggi. Imbas dari kebijakan di sector pendidikan yang kian buruk ini, akan
semakin pahit dirasakan oleh rakyat Indonesia, terlebih masyarakat yang
tergolong lemah secara ekonomi.
Sampai saat
ini, perlawanan terhadap Undang-undang ini terus dipopulerkan oleh kalangan
massa rakyat yang kontra terhadap UU PT ini. Semoga kajian serta analisis
terhadap masalah ini terus berlanjut, demi terwujudnya system pendidikan
berorientasi pada tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Selamat
Hardiknas Semoga Pendidikan di Negeri JAWARA Bisa Lebih Baik Lagi dari Sebelumnya........!!!!!!!
0 komentar:
Posting Komentar